Tuesday, June 17, 2008

The Three and Forbidden Kingdom

Di sela-sela makan siang bersama rekan-rekan di kampus, seseorang yang sebenarnya juga mahasiswa saya di salah satu kelas ekstensi bercerita sebuah film berjudul Forbidden Kingdom, yang dibintangi oleh Jacky Chan, Jet Li, dan Michael Angarano. Dia sangat menyukai adegan duel kungfu antara Jacky Chan yang kocak dengan Jet Li yang serius dan mematikan. Tertarik dengan cerita itu, saya mengajak dua rekan nonton film tersebut di Studio Bellanova, Sentul keesokan harinya. Sebelumnya, hari Senin, saya memeriksa jam main dan judul film yang diputar, dan ternyata benar, film tersebut sedang diputar.

Selasa sore, sepulang kantor jam 16:00, kami bertiga berangkat nonton film tersebut yang diputar jam 17:35. Sepuluh menit sebelum film diputar, kami sudah tiba di Bellanova, dan langsung menuju loket, kemudian masuk gedung karena pintu sudah dibuka. Tak lupa sebelumnya, rekan saya membeli makanan dan minuman.

Sesaat kemudian, film utama diputar sementara kami masih sibuk membuka minuman dan mengatur posisi makanan, sehingga tidak begitu memperhatikan pembuka di film tersebut. Setelah lama film diputar, kami belum menemukan kapan Jacky Chan muncul. Yang ada justru Andy Lau. Saya sempat bertanya ke salah satu rekan, "Hai, mana Jacky Chan nya yah". Rekan saya spontan menjawab, "Nanti Pak, di akhir film", katanya seperti sangat paham dengan film tersebut.

Sampai film berakhir, ternyata tidak ada Jacky Chan maupun Jet Li. Dan memang ternyata, yang kami tonton bukan The Forbidden Kingdom, melainkan The Three Kingdom, yang dibintangi oleh Andy Lau, Maggie Q, dan Sammo Hung. Ampun deh. Karena terlanjur ingin melihat duel kungfu Jacky Chan dan Jet Li, maka keesokan harinya, kami lanjutkan acara nonton ke Sukasari-21, karena di sana diputar film The Forbidden Kingdom.

Jadi, kami selalu berujar, bahwa kami sudah nonton sebuah film dengan durasi agak panjang, judulnya adalah The Three and Forbidden Kingdom. Untungnya juga, film tersebut didukung oleh pemain cantik Liu Yifei, yang selalu membawa alat musik. Dan saat ditanya oleh Jason (Michael Angarano) mengapa selalu bermain musik, Liu Yifei menjawab, "Music is the bridge of heaven". Setuju banget.

Thursday, May 1, 2008

Wisata Religi

Atau wisata ritual? Bingung saya menuliskan istilah yang tepat untuk aktivitas yang pernah saya lakukan beberapa waktu lalu.

Sudah menjadi tradisi, setiap survei ke daerah selalu dibarengi dengan acara lain yang cenderung jarang dilakukan dalam keseharian bekerja, seperti makan makanan khas, mengunjungi tempat-tempat indah, dan aktivitas peregangan pikiran lainnya secara gratis, karena dibiayai oleh pihak pemberi pekerjaan. Namun kali ini, aktivitas yang dilakukan adalah mengunjungi (rekan saya memberi istilah sowan) ke tempat-tempat yang bernuansa religi, yaitu masjid dan makam para wali.

Dimulai dari melakukan sholat Maghrib dan Isya di masjid Demak. Entah kenapa, kami melakukan sholat tersebut dalam suasana agak lain dan sangat khusyuk, yang sering saya sulit lakukan dalam keseharian di Bogor. Waktu itu adalah Kamis malam, dan selepas Isya, kami lanjutkan sowan ke makam wali Demak dan beberapa makam lainnya, yang sudah saya pelajari sehari sebelumnya melalui sebuah buku sederhana seharga lima ribu. Banyak masyarakat membaca tahlil dan tahmid dengan khusyuk membuat saya terkagum. Betapa besar kecintaan masyarakat kepada Allah sang pencipta, nabi, dan para wali. Saya dan rekan pun melakukan ziarah dan membaca shalawat dan berdoa.

Sowan dan ziarah kami lanjutkan ke makam Sunan Kalijaga, yang berada tidak jauh dari masjid dan komplek makam Demak.

Seusai itu semua, perjalanan kami lanjutkan menuju Semarang menggunakan kendaraan minibus yang kami bawa dari Bogor. Tepat pukul 03.15, padahal saya dan rekan sudah menunggu sejak pukul 22.00 di Stasiun Tawang, kami berangkat menuju Surabaya menggunakan kereta Sembrani. Di Surabaya, saya dan rekan ziarah ke makam ayah dan ibu dari rekan yang telah wafat beberapa tahun lalu.

Saat itu hari Jumat, saya dan rekan melanjutkan perjalanan survei ke Gresik. Di sela itu, saya dan rekan sholat Jumat di masjid Komplek Sunan Giri. Dengan kelelahan fisik akibat survei dan perjalanan, tidak membuat saya mengantuk saat mendengarkan khotbah Jumat, yang saat itu menggunakan bahasa Jawa secara halus. Hingga usai, saya dan rekan melanjutkan sowan dan ziarah ke makam Sunan Giri. Suasana sangat ramai dan masyarakat berlomba-lomba berdoa dan membaca tahlil dan tahmid dengan khusyuk.

Tuntas dengan semua acara sowan tadi, saya sempatkan pulang ke kampung halaman, sebuah desa di daerah Pasuruan yang udaranya sangat panas. Untuk melengkapi aktivitas wisata religi ini, saya ditemani rekan sejawat tadi, melakukan ziarah ke makam ayahanda tercinta, yang telah meninggalkan kami semua beberapa bulan sebelumnya. Sedih, teharu, dan semua perasaan berkecamuk di saat saya duduk bersimpuh di samping makam ayahanda tercinta, yang telah berjuang keras menjalani hidup untuk mengantar tiga anaknya menjalani kehidupan ini. "Sepurane Pak, aku gak sempet mbales semuanya", demikian terucap dalam hati sambil menahan sedih yang cukup dalam.

Pada saat istirahat sore hari, saya dikontak rekan untuk ikut acara ngobrol santai di Malang. Dengan badan yang sangat lelah, saya berangkat menuju Malang untuk memenuhi undangan rekan tadi. Sesampai di sana, ternyata saya diajak pergi ke suatu daerah yang cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan, tempat seorang baik, yang memiliki padepokan untuk menyembuhkan pemuda yang terkena narkoba dan penyakit remaja lainnya. Dengan mata menahan kantuk, saya seakan merekam semua pembicaraan dan mengambil banyak hikmah kehidupan ini, yang nanti akan saya ceritakan pada tulisan lainnya.

Singkatnya, dalam beberapa hari, saya menjalani wisata religi dan menangkap betapa indahnya kehidupan beragama yang telah saya lihat. Agama terlihat sangat damai, dan penuh kasih sayang sesama, menjunjung tinggi derajat orang yang telah berjasa, serta sangat dekat dengan Sang Pencipta. Semua ini dibungkus dengan budaya setempat yang juga indah, dan bersahaja. Sangat berbeda dengan kelompok yang membawa agama untuk merusak properti orang lain, tidak ada toleransi dalam sesama, menguasai kebenaran versi kelompok tersebut, dan selalu menganggap orang yang bukan kelompoknya adalah salah, serta selalu melanggar aturan formal yang ada. Bahkan, tidak jarang bersedia menghancurkan orang lain, serta secara sistemik masuk ke arena kekuasaan di segala lini, hanya untuk mengganti kelompok yang ada dengan kelompok mereka sendiri, dengan menomorduakan aspek profesionalisme, toleransi, dan keberagaman budaya.

Thursday, April 24, 2008

Meninggalkan Gedung Rektorat

Hari ini, 10 Maret 2008, ada acara pelantikan pejabat struktural di lingkungan IPB. Dan mulai hari ini pula aku resmi keluar dari gedung rektorat, dan meninggalkan urusan administrasi IT (Information Technology) di IPB ini. Ingatan menembus batas waktu ke 20an tahun lalu, saat di Gedung UPT Komputer Kampus Baranangsang, atau yang sering disebut gedung kaca. Saat itu, mulailah suatu pekerjaan "gila", yaitu membuat program manajemen database menggunakan Fortran berempat bersama pak Syamsun, Ahmadi, dan Sachlani. Baris-baris program ribuan dalam kertas berlembar-lembar ditelusuri dan dianalisis, untuk membuat program yang kira-kira nantinya seperti program dBASE. Belum tuntas kegiatan itu, yang dilakukan dengan sering begadang di gedung kaca, tiba-tiba telah diluncurkan program aplikasi dBASE. Sejak saat itu, proyek pembuatan program tersebut berhenti tanpa tahu lagi dimana source code nya sekarang.

Sekitar tahun 1993an, saat aku melanjutkan sekolah di UI Depok, Pak Siswadi, Dekan FMIPA saat itu, memintaku untuk mengelola jaringan komputer di FMIPA. Aku senang menerima pekerjaan ini karena sudah menjadi tantangan bagiku agar tersedia jaringan di lingkungan kerja, dan dapat ber-internet sambil bekerja. Tak jarang aku dan rekan-rekan, termasuk mahasiswi, memanjat tembok tinggi untuk memasang kabel dan switch di lingkungan FMIPA, Kampus IPB Baranangsiang. Dengan dukungan Pak Sis dan rekan-rekan, akhirnya MIPAnet, begitu kami menyebutnya, dapat terpasang dengan baik, dan FMIPA menjadi salah satu fakultas di IPB yang memiliki jaringan LAN dan Internet yang cukup memadai waktu itu.

Sejak saat itu, mulailah aku aktif menulis di milis IPB untuk ikut menyumbang pikiran tentang berbagai hal terkait dengan IT. Hal ini rupanya yang mendorong Pak Aman (Rektor IPB saat itu), untuk memanggilku dan mengelola IT di IPB menjadi Kepala UPT Komputer. Apa yang pernah aku lakukan di FMIPA sebelumnya, coba aku terapkan di rektorat IPB. Dan sejak saat itu, mulailah aku terlibat dalam urusan struktural dan administrasi bidang IT di IPB ini.

Pada era pak Mattjik, rektor IPB berikutnya, dilakukan perubahan struktur organisasi, dan mulailah aku mengelola hal yang sama dan menjadi Kepala Kantor Pengembangan Sistem Informasi. Sejak saat ini, dengan program IT IPB yang dicanangkan oleh Pak Mattjik, IT di IPB mencoba mengejar ketertinggalan dibanding perguruan tinggi lainnya. Hal yang monumental terjadi saat dibangunnya jaringan Fiber Optik yang mencakup seluruh kawasan Kampus IPB Darmaga, sehingga pengelolaan sistem informasi menjadi lebih mudah. Namun demikian, dengan perubahan prosedur di segala bidang, banyak timbul masalah di dalam penerapan sistem informasi, seperti penjadwalan, KRS, dan sebagainya. Semua itu dilalui dengan semangat kerjasama dan kekeluargaan, serta saling mendukung berbagai pihak. Suasana kerja yang diciptakan pak Mattjik sungguh sangat baik, walaupun dengan beban pekerjaan yang sangat berat, dapat dipikul secara perlahan dan pasti.

Semua lamunan itu seperti memutar film dokumenter dan menontonnya sambil berjalan menaiki tangga rektorat sampai masuk lift menuju ruangan pelantikan pejabat di lantai 6 gedung rektorat. Jam sudah menunjuk pukul 09.30, yang berarti aku sudah terlambat setengah jam. Saat membuka pintu ruangan pelantikan, terasa ada yang mengganjal, yang rupanya ruangan sudah penuh sehingga pintu terhalang oleh yang hadir di dalam. Oleh karena itu, aku berjalan menuju pintu masuk sebelah kiri, tetapi dengan sigap, seorang panitia yang duduk di meja front-desk menegur dan mendekatiku dan berkata, "Maaf Pak, daerah sana untuk perempuan. Laki-laki di daerah sini", demikian sambil menunjuk ke arah pintu masuk yang penuh tadi. Saat itu, seperti melihat film dan tiba-tiba lampu padam dan gelap. Demikiankah awal perubahan ini? Dan setelah acara usai, saat memberi ucapan selamat, beberapa pejabat yang akan memberi selamat, sibuk mencari dan memanggil istrinya, yang telah terpisah saat memasuki ruangan pelantikan pejabat di era sekarang ini. Lucu aku melihatnya dan menahan tertawa di bibir sambil berjalan memberi selamat kepada pejabat baru.

Pada saat aku bertanya-tanya dalam hati, tiba-tiba perutku yang sedang lapar berbunyi dan harus segera menyantap opor ayam yang sudah tersedia. Untungnya, opor ayam tersebut tidak diberi label juga, "Maaf, ini ayam perempuan".

Thursday, April 17, 2008

KOMUNIKASI

Seorang rekan dosen meminta kepada mahasiswa bimbingannya untuk mengganti lembar pengesahan skripsinya karena mahasiswa salah menuliskan gelar pembimbingnya. "Tolong diganti, saya gelarnya 'Komp.', pake huruf 'p', bukan 'Kom'. Nanti dikira saya lulusan bidang komunikasi", demikian pinta sang dosen. "Baik Pak, segera saya ganti, saya mohon maaf", mahasiswa dengan sigap menimpali.

Lain lagi cerita seorang dosen senior di IPB, yang dikontak oleh suatu konsultan asing, yang sedang membutuhkan tenaga bidang Teknologi Komunikasi. Oleh stafnya, konsultan tersebut menelusuri di Internet, dan ditemukanlah nama beliau yang memang ahli komunikasi. Tetapi konsultan tidak menelusuri lebih jauh, ternyata Bapak dosen tadi ahli komunikasi masyarakat/massa, bukan teknologi komunikasi (baca: komputer) yang diinginkan konsultan.

Komunikasi massa dan teknologi komunikasi/komputer memang sering tertukar di kalangan masyarakat luas atau awam. Tetapi, kalau di lingkungan akademik, dua hal itu sangat jarang tertukar, kecuali kalau memang sengajar ditukar-tukar agar orang lain bingung, atau untuk keperluan politik-politikan. Di suatu institusi, ada dibuat unit komunikasi untuk menampung aktivitas komunikasi institusi dengan stakeholder, tetapi ujung-ujungnya ternyata "hanya" untuk teknologi komputer. Apalagi kalau ditambah dengan istilah Sistem Informasi yang sudah meliputi infrastruktur komunikasi data, manajemen informasi, dan aplikasi/prosedur. Jadi makin aneh dan redundant kalau ada unit bernama Komunikasi dan Sistem Informasi. Tau ah ... gelap .... ;)

Sunday, February 17, 2008

REZIM MORAL

Istilah ini cukup mengagetkan karena selama ini rezim terkait dengan kelompok penguasa yang dalam kurun tertentu menggunakan kesewenangannya untuk hal-hal yang kurang menyentuh nilai masyarakat kebanyakan. Jika ditambah dengan istilah moral, yang berkonotasi pada sikap dan perilaku sesuai dengan norma agama, menurut saya menjadi kontradiktif dan mengagetkan. Tetapi jika ditelusur jalan panjang kehidupan di lingkungan kita ini, istilah rezim moral seringkali menjadi benar adanya.

Apa itu rezim moral? Istilah ini muncul dari seorang Ayu Utami, penovel muda dan cantik, yang telah menulis sebuah monolog tentang bagaimana moral digunakan untuk menggapai sesuatu yang banyak menimbulkan gejolak. Moral jauh diunggulkan untuk mengalahkan sisi profesional dan intelektual. Disebutkan seorang laki-laki penjual minuman dengan badan yang super gemuk di jalan raya Jakarta, di siang bolong dengan sinar matahari memanggang, dia membuka bajunya karena panas yang menyengat sehingga terlihat (maaf) payudaranya, dan akhirnya ditangkap petugas karena melanggar Undang-undang Anti Pornografi.

Pada suatu kasus nyata, "pertengkaran" seorang kepala sekolah suatu SMU dengan guru Biologi yang tidak bersedia mengajarkan materi Teori Darwin karena sang guru bersikukuh bahwa Teori Darwin tersebut bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya. Sama halnya dengan seorang mahasiswa yang bersikukuh tidak mau membaca buku rujukan suatu mata kuliah karena buku tersebut ditulis oleh ilmuwan berkebangsaan Amerika. Semua orang seperti menjadi lupa bahwa ada sesuatu yang bersifat universal.

Keyakinan terhadap sesuatu sangat baik dan memang perlu mendapat apresiasi jika dibarengi dengan pengetahuan dan wawasan yang tinggi. Segala sesuatu tidak seharusnya semua dilihat sebagai hitam dan putih, sehingga mengesampingkan kewajiban bisa menjadi bermanfaat bagi sesama. Menjadi pertanyaan jika bersikukuh mempertahankan suatu keyakinan, sementara tanggung jawab sesuai dengan predikat yang disandangnya tidak dapat dipenuhi. Seorang guru yang ngotot tidak mau mengajarkan Teori Darwin, tetapi dalam kesehariannya selalu terlambat masuk kelas, menggunakan sandal ke kampus, dan sejenisnya.

Memang sungguh, rezim moral makin terlihat nyata, di hampir setiap sudut. Itu tak apa selama dibarengi dengan rasa tanggung jawab, dan banyak mengedepankan profesional dan intelektual dalam bertindak, dan bahwa keyakinan itu bukan mutlak untuk dikuasai, dan juga bukan mutlak untuk menguasai. Saya jadi ingat kata bijak dari Almarhum Pak Andi yang juga tertulis di bagian atas webmail IPB, "Berfikir dan berdzikirlah secara berimbang".

Friday, February 15, 2008

SINETRON

Saya ini termasuk orang yang tidak menyukai tayangan sinetron, yang banyak menjual mimpi dan mempermainkan daya pikir dan nalar orang ke hal-hal yang tidak realistis. Beda dengan ibu saya, yang punya tayangan sinetron favorit pada jam-jam tertentu. Selama sebulan lebih, saya sering menemani ibu sambil bermanja-manja di depan televisi. Itu makanya saya jadi tahu bagaimana liku-liku cinta antara Cahaya, Raka, Talita dan Satria. Dan tahu bagaimana mobil mewah yang digunakan oleh bu Pertiwi, dan juga keluarga seorang pejabat, ayahnya Satria. Disinilah kadang lamunan menerawang, betapa enaknya memiliki itu semua. Paras yang rupawan, mobil dan rumah mewah, serta harta yang melimpah.

Ingatan berjalan ke masa lampau, saat saya punya lamunan betapa enaknya memiliki mobil dan uang yang cukup. Namun demikian saya jalani hidup dengan motivasi tinggi untuk bekerja keras agar bisa memberi manfaat bagi orang lain, dan saya bisa mampu melakukan semua tanggung jawab dengan baik. Saya lulus dari IPB tahun 1984, dan menjadi pegawai honorer di UPT Komputer sekaligus asisten di Jurusan Statistika dengan honor sebesar 75 ribu rupiah. Ongkos angkutan umum saat itu sekitar 500 rupiah sekali jalan. Dengan tinggal di Laladon dan kantor di Baranangsiang, dibutuhkan uang 5000 rupiah PP. Untuk menghemat, saya jalan kaki dari rumah menuju jalan besar di Sindangbarang, sehingga hanya dibutuhkan 2000 rupiah PP tiap hari. Oleh karena itu, di dalam tas selalu tersedia jas hujan, payung, senter, dan sebotol air minum. Itu semua untuk peralatan jalan kaki melewati pematang sawah di sepanjang Laladon-Sindangbarang untuk mencapai jalan besar agar terhindar dari ongkos tinggi untuk ojek atau becak. Apalagi pulang kerja selalu hari sudah larut malam.

Tahun 1987 saya menikah, dan status kepegawaian masih honorer. Tahun 1989 Inne lahir, dan saat itu bertepatan dengan pengangkatan saya sebagai CPNS. Akibat kebutuhan meningkat, dimulailah kerja keras dengan mengajar dan menjadi konsultan di tempat lain pada malam harinya. Alhamdulillah, pada usia dua tahun Inne, saya membeli mobil bekas, Hijet-1000 warna merah dengan harga 3.5 juta rupiah, dari uang pinjaman ke orang tua, yang akhirnya tidak saya kembalikan. Jadi, dalam waktu 5 tahun lebih, saya jalani bekerja sekuat tenaga mengejar impian tadi. Dan jika saya ukur hingga kondisi sekarang, sudah 24 tahun telah saya lewati. Namun, impian sekarang seperti kehidupan keluarga Satria, jika dibandingkan, ternyata masih jauh. Apalagi kalau dengan ukuran yang sama, saya membandingkan dengan pak Mattjik misalnya, yang sudah jauh lebih lama menjalani kehidupan dan bekerja ini.

Itu mengapa, saya lebih baik berpikir, bagaimana bekerja dengan baik dan keras sesuai tanggungjawab yang diberikan, daripada selalu mencari cara untuk menggapai sesuatu yang belum tentu didapat. Apalagi dengan mengesampingkan nilai-nilai sosial, seperti yang dilakukan oleh Sakti dalam mendapatkan cinta Talita.

Monday, February 11, 2008

NASI AKING

Di kelas kuliah, saya pernah bertanya "Ada yang pernah lihat dan makan nasi aking?". Semua mahasiswa terdiam dan selanjutnya geleng kepala menandakan belum pernah. Umumnya semua pernah mendengar kata "Nasi Aking" dari televisi, melalui acara berita tentang betapa menderitanya rakyat akibat tekanan ekonomi yang makin sulit dan terutama harga beras makin tinggi. Namun demikian, saya bertanya dalam hati, bagaimana hubungannya antara nasi aking dengan penderitaan rakyat. Apalagi nasi aking dimakan tanpa lauk sedikitpun. Apakah mungkin itu akibat ukuran yang digunakan oleh wartawan TV berbeda dengan yang digunakan rakyat? Atukah memang demikian situasi penderitaan itu?

Beberapa minggu lalu saya pulang kampung sambil kebetulan ada acara presentasi tentang sistem informasi di suatu perusahaan di Gresik. Jarak kampung halaman dengan Gresik dapat ditempuh dalam waktu 3 jam berkendara. Di rumah, pada suatu sore di hari Sabtu itu, ibu saya menawarkan sesuatu dalam bahasa Jawa, "Yul, gelem sego karak (mau nasi "karak")?" Dengan gembira saya mengiyakan tawaran itu, karena memang sudah lama saya tidak merasakan "sego karak", yang dulu saat masih kecil, sering dan senang saya memakannya. Setiap malam, setelah semua anggota keluarga makan, selalu ada nasi sisa, dan itu dikeringkan keesokan harinya. Hasilnya dikumpulkan sampai sejumlah tertentu, kemudian dikukus dan selanjutnya diberi parutan kelapa, garam dan gula sedikit. Itulah yang disebut sebagai "sego karak", dan itulah yang selama ini disebut oleh televisi sebagai nasi aking, dan selalu dimakan tanpa tambahan lauk apa pun. Rasanya cukup enak menurut lidah orang Jawa, dan itu hobi banyak rakyat desa di sekitar kampung saya. Itulah mengapa saya selalu bertanya, apakah ada hubungan antara nasi aking dengan kemiskinan.

Memang kadang ukuran yang kita gunakan untuk melihat sesuatu, harus kita ubah agar yang kita rasakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan suara kebanyakan, bukanlah sesuatu yang harus dibenarkan. Justru kita harus merasakan yang orang lain rasakan, agar lidah kita tidak hanya terbiasa dengan segala sesuatu versi kita saja.