Wednesday, October 28, 2009

Pembelajaran Kontekstual

Di suatu acara seminar pembelajaran multimedia di suatu perguruan tinggi, saya berkesempatan menyimak paparan rekan sesama pemakalah. Beliau menyajikan dua judul presentasi, salah satunya yang akan saya bagi cerita di sini adalah pembelajaran kontekstual yang lebih dikenal dengan istilah Student Center Learning (SCL). Mungkin soal ini sudah banyak dikupas di pelatihan pekerti, yang sampai kini pun belum pernah saya ikuti.

Rekan tadi menyajikan dengan sangat menarik, diawali dengan kutipan dari Benjamin Franklin yang sarat makna, yaitu: "Tell me and I forget. Teach me and I may remember. Involve me and I will learn". Dari sini saya merenung, apakah selama ini saya di kelas hanya bercerita yang membuat mahasiswa melupakannya, hanya mengajar yang membuat mahasiswa menghafal, atau lebih membuat mahasiswa untuk belajar sehingga lebih berkembang? Ternyata saya merasakan bahwa banyak hal yang harus saya lakukan untuk menjadi dosen yang baik. Apalagi jika dihubungkan dengan penilaian yang biasa dilakukan, apakah hanya menilai kemampuan minimal penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai sasaran kurikulum; ataukah menilai kompetensi seseorang untuk dapat melakukan tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu? Sangat berat ternyata untuk melakukan itu semua.

Ternyata selama ini saya masih pada tahap traditional teaching, yang hasilnya membuat mahasiswa D3C (duduk, dengar, diam, catat), memiliki kemampuan konseptualisasi yang terbatas, tahu/hafal materi pelajaran, tetapi tidak tahu aplikasinya di dunia nyata, apatis, dan tidak dapat "think outside the box". Nah, dalam SCL, demikian rekan saya tadi memberi tekanan, sudahkan kita melakukan proses pembelajaran bercirikan hal-hal berikut: (1) Fokus pada proses; (2) Penekanan pada mengetahui "bagaimana"; (3) Dosen berperan sebagai fasilitator, narasumber, dan mitra; (4) Siswa bekerja dalam kelompok/tim, secara kolektif dan kolaboratif; (5) Siswa bekerja secara independen; (6) Siswa aktif membangun dan mensintesa pengetahuan dari banyak sumber; (7) Kegiatan belajar fleksibel dan tak selalu di dalam kelas; dan (8) Penilaian dengan berbagai cara. Oleh karena itu, dalam SCL, metode yang harus dilakukan adalah: (1) Pembelajaran dengan berbagi pengalaman (information sharing); (2) Pembelajaran dengan pengalaman (experience based, experiential learning); dan (3) Pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem-solving based).

Memang, tidak semua matakuliah dapat 100% dilakukan pembelajaran seperti itu, namun minimal menjadi tugas saya sebagai dosen untuk membuat pembelajaran lebih berpusat pada mahasiswa, bukan pada dosen. Sulit sekali ternyata, dan saya makin lebih banyak merenung lagi mendengar paparan terakhir rekan saya tersebut, yang berusaha menyimpulkan dalam satu kalimat: "Kampus tempat mahasiswa belajar, BUKAN tempat dosen mengajar".

Monday, October 26, 2009

Three in One

Sudah menjadi keinginan di setiap masa ujian mahasiswa, saya selalu berusaha untuk mengantar anak ke kampus dengan tujuan agar dia dapat tenang menuju tempat ujian, tanpa dibebani oleh kemacetan dan suasana jalan yang kurang nyaman. Karena saya berasumsi bahwa suasana batin dan pikiran akan mendorong otak bekerja lebih positif, terutama dalam menjawab soal-soal di ujian.

Senin itu, sambil akan mempersiapkan ujian matakuliah yang saya asuh, saya berangkat bersama anak dan dua temannya menuju kampus. Di jalan, bertiga mereka serius belajar, terutama dua mahasiswa di belakang. Melihat itu, saya membuka pembicaraan, "Udah, jangan tegang, santai saja". Langsung ditukas oleh mereka, "Ini bukan tegang untuk hari ini Om, tapi besok". "Kenapa?", saya bertanya agak keheranan. Ternyata, "Besok saya kena three in one. Masak ujian sampai tiga matakuliah". Saya melongo mendengar jawaban itu, dan merasa kasihan juga. Untungnya mereka mahasiswa yang tabah dan menerima segala resiko apa pun yang dilakukan oleh IPB ini terhadap mahasiswanya, walaupun terbayang bagaimana kebingungan mempersiapkan belajar menghadapi ujian Metode Kuantitatif pukul 08:00-10:00, Pemrograman Tak Linier pukul 10.30-12.30, dan Sistem Operasi pukul 13:30-15:30 dalam satu hari.

Setiba di kampus langsung mempersiapkan ujian matakuliah yang diikuti ratusan mahasiswa di Grawida. Lembar soal langsung dibagi walaupun jam masih menunjuk pukul 13:00, sedangkan ujian pukul 13:30. Tepat pukul 13:20, mahasiswa dipersilakan masuk dan menempati kursi yang ada berkas ujian di atasnya. Seperti syair dalam lagu jaman mahasiswa dulu, "malapetaka pun melanda ...", M-N=120, dimana M adalah jumlah mahasiswa, dan N adalah jumlah berkas, alias berkas kurang ratusan eksemplar. Ya sudah lah, itu mungkin karena salah perhitungan, tetapi telah membuat kurang nyaman pada diri mahasiswa dan semua pihak. Akhirnya ujian diundur 30 menit untuk beberapa mahasiswa.

Malapetaka kedua muncul, beberapa mahasiswa tidak dapat ujian akibat pengunduran waktu, karena ada ujian di jam berikutnya. Selesai persoalan itu diatasi oleh rekan dosen lainnya, muncul malapetaka ketiga, ruang Grawida akan dipakai ujian matakuliah lain pada jam berikutnya, sehingga akan terganggu akibat pengunduran waktu 30 menit tersebut. Akhirnya, ujian yang seharusnya 2.5 jam, dipersingkat menjadi 2.0 jam.

Entah mengapa, three in one tidak hanya ada di Jakarta, tetapi ada juga di masa ujian ini. Tiga matakuliah dan juga tiga malapetaka menjadi satu. Setelah memohon ampun pada Allah dan berwudlu, saya teriak sekencang-kencangnya di mobil dalam perjalanan menuju Bogor, sambil tak terasa menetes air mata. Cengeng memang, tetapi beban itu terasa sangat berat untuk saya lalui. Di 15 menit setelah itu, saya mencoba membuang semua pikiran itu dengan memutar lagu di CD bajakan saya, terdengar lagunya D'Masiv yang kebetulan saya hafal reff-nya sehingga membuat saya ikut bersenandung keras-keras ...

Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku
...
...