Thursday, May 1, 2008

Wisata Religi

Atau wisata ritual? Bingung saya menuliskan istilah yang tepat untuk aktivitas yang pernah saya lakukan beberapa waktu lalu.

Sudah menjadi tradisi, setiap survei ke daerah selalu dibarengi dengan acara lain yang cenderung jarang dilakukan dalam keseharian bekerja, seperti makan makanan khas, mengunjungi tempat-tempat indah, dan aktivitas peregangan pikiran lainnya secara gratis, karena dibiayai oleh pihak pemberi pekerjaan. Namun kali ini, aktivitas yang dilakukan adalah mengunjungi (rekan saya memberi istilah sowan) ke tempat-tempat yang bernuansa religi, yaitu masjid dan makam para wali.

Dimulai dari melakukan sholat Maghrib dan Isya di masjid Demak. Entah kenapa, kami melakukan sholat tersebut dalam suasana agak lain dan sangat khusyuk, yang sering saya sulit lakukan dalam keseharian di Bogor. Waktu itu adalah Kamis malam, dan selepas Isya, kami lanjutkan sowan ke makam wali Demak dan beberapa makam lainnya, yang sudah saya pelajari sehari sebelumnya melalui sebuah buku sederhana seharga lima ribu. Banyak masyarakat membaca tahlil dan tahmid dengan khusyuk membuat saya terkagum. Betapa besar kecintaan masyarakat kepada Allah sang pencipta, nabi, dan para wali. Saya dan rekan pun melakukan ziarah dan membaca shalawat dan berdoa.

Sowan dan ziarah kami lanjutkan ke makam Sunan Kalijaga, yang berada tidak jauh dari masjid dan komplek makam Demak.

Seusai itu semua, perjalanan kami lanjutkan menuju Semarang menggunakan kendaraan minibus yang kami bawa dari Bogor. Tepat pukul 03.15, padahal saya dan rekan sudah menunggu sejak pukul 22.00 di Stasiun Tawang, kami berangkat menuju Surabaya menggunakan kereta Sembrani. Di Surabaya, saya dan rekan ziarah ke makam ayah dan ibu dari rekan yang telah wafat beberapa tahun lalu.

Saat itu hari Jumat, saya dan rekan melanjutkan perjalanan survei ke Gresik. Di sela itu, saya dan rekan sholat Jumat di masjid Komplek Sunan Giri. Dengan kelelahan fisik akibat survei dan perjalanan, tidak membuat saya mengantuk saat mendengarkan khotbah Jumat, yang saat itu menggunakan bahasa Jawa secara halus. Hingga usai, saya dan rekan melanjutkan sowan dan ziarah ke makam Sunan Giri. Suasana sangat ramai dan masyarakat berlomba-lomba berdoa dan membaca tahlil dan tahmid dengan khusyuk.

Tuntas dengan semua acara sowan tadi, saya sempatkan pulang ke kampung halaman, sebuah desa di daerah Pasuruan yang udaranya sangat panas. Untuk melengkapi aktivitas wisata religi ini, saya ditemani rekan sejawat tadi, melakukan ziarah ke makam ayahanda tercinta, yang telah meninggalkan kami semua beberapa bulan sebelumnya. Sedih, teharu, dan semua perasaan berkecamuk di saat saya duduk bersimpuh di samping makam ayahanda tercinta, yang telah berjuang keras menjalani hidup untuk mengantar tiga anaknya menjalani kehidupan ini. "Sepurane Pak, aku gak sempet mbales semuanya", demikian terucap dalam hati sambil menahan sedih yang cukup dalam.

Pada saat istirahat sore hari, saya dikontak rekan untuk ikut acara ngobrol santai di Malang. Dengan badan yang sangat lelah, saya berangkat menuju Malang untuk memenuhi undangan rekan tadi. Sesampai di sana, ternyata saya diajak pergi ke suatu daerah yang cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan, tempat seorang baik, yang memiliki padepokan untuk menyembuhkan pemuda yang terkena narkoba dan penyakit remaja lainnya. Dengan mata menahan kantuk, saya seakan merekam semua pembicaraan dan mengambil banyak hikmah kehidupan ini, yang nanti akan saya ceritakan pada tulisan lainnya.

Singkatnya, dalam beberapa hari, saya menjalani wisata religi dan menangkap betapa indahnya kehidupan beragama yang telah saya lihat. Agama terlihat sangat damai, dan penuh kasih sayang sesama, menjunjung tinggi derajat orang yang telah berjasa, serta sangat dekat dengan Sang Pencipta. Semua ini dibungkus dengan budaya setempat yang juga indah, dan bersahaja. Sangat berbeda dengan kelompok yang membawa agama untuk merusak properti orang lain, tidak ada toleransi dalam sesama, menguasai kebenaran versi kelompok tersebut, dan selalu menganggap orang yang bukan kelompoknya adalah salah, serta selalu melanggar aturan formal yang ada. Bahkan, tidak jarang bersedia menghancurkan orang lain, serta secara sistemik masuk ke arena kekuasaan di segala lini, hanya untuk mengganti kelompok yang ada dengan kelompok mereka sendiri, dengan menomorduakan aspek profesionalisme, toleransi, dan keberagaman budaya.