Sunday, February 17, 2008

REZIM MORAL

Istilah ini cukup mengagetkan karena selama ini rezim terkait dengan kelompok penguasa yang dalam kurun tertentu menggunakan kesewenangannya untuk hal-hal yang kurang menyentuh nilai masyarakat kebanyakan. Jika ditambah dengan istilah moral, yang berkonotasi pada sikap dan perilaku sesuai dengan norma agama, menurut saya menjadi kontradiktif dan mengagetkan. Tetapi jika ditelusur jalan panjang kehidupan di lingkungan kita ini, istilah rezim moral seringkali menjadi benar adanya.

Apa itu rezim moral? Istilah ini muncul dari seorang Ayu Utami, penovel muda dan cantik, yang telah menulis sebuah monolog tentang bagaimana moral digunakan untuk menggapai sesuatu yang banyak menimbulkan gejolak. Moral jauh diunggulkan untuk mengalahkan sisi profesional dan intelektual. Disebutkan seorang laki-laki penjual minuman dengan badan yang super gemuk di jalan raya Jakarta, di siang bolong dengan sinar matahari memanggang, dia membuka bajunya karena panas yang menyengat sehingga terlihat (maaf) payudaranya, dan akhirnya ditangkap petugas karena melanggar Undang-undang Anti Pornografi.

Pada suatu kasus nyata, "pertengkaran" seorang kepala sekolah suatu SMU dengan guru Biologi yang tidak bersedia mengajarkan materi Teori Darwin karena sang guru bersikukuh bahwa Teori Darwin tersebut bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya. Sama halnya dengan seorang mahasiswa yang bersikukuh tidak mau membaca buku rujukan suatu mata kuliah karena buku tersebut ditulis oleh ilmuwan berkebangsaan Amerika. Semua orang seperti menjadi lupa bahwa ada sesuatu yang bersifat universal.

Keyakinan terhadap sesuatu sangat baik dan memang perlu mendapat apresiasi jika dibarengi dengan pengetahuan dan wawasan yang tinggi. Segala sesuatu tidak seharusnya semua dilihat sebagai hitam dan putih, sehingga mengesampingkan kewajiban bisa menjadi bermanfaat bagi sesama. Menjadi pertanyaan jika bersikukuh mempertahankan suatu keyakinan, sementara tanggung jawab sesuai dengan predikat yang disandangnya tidak dapat dipenuhi. Seorang guru yang ngotot tidak mau mengajarkan Teori Darwin, tetapi dalam kesehariannya selalu terlambat masuk kelas, menggunakan sandal ke kampus, dan sejenisnya.

Memang sungguh, rezim moral makin terlihat nyata, di hampir setiap sudut. Itu tak apa selama dibarengi dengan rasa tanggung jawab, dan banyak mengedepankan profesional dan intelektual dalam bertindak, dan bahwa keyakinan itu bukan mutlak untuk dikuasai, dan juga bukan mutlak untuk menguasai. Saya jadi ingat kata bijak dari Almarhum Pak Andi yang juga tertulis di bagian atas webmail IPB, "Berfikir dan berdzikirlah secara berimbang".

Friday, February 15, 2008

SINETRON

Saya ini termasuk orang yang tidak menyukai tayangan sinetron, yang banyak menjual mimpi dan mempermainkan daya pikir dan nalar orang ke hal-hal yang tidak realistis. Beda dengan ibu saya, yang punya tayangan sinetron favorit pada jam-jam tertentu. Selama sebulan lebih, saya sering menemani ibu sambil bermanja-manja di depan televisi. Itu makanya saya jadi tahu bagaimana liku-liku cinta antara Cahaya, Raka, Talita dan Satria. Dan tahu bagaimana mobil mewah yang digunakan oleh bu Pertiwi, dan juga keluarga seorang pejabat, ayahnya Satria. Disinilah kadang lamunan menerawang, betapa enaknya memiliki itu semua. Paras yang rupawan, mobil dan rumah mewah, serta harta yang melimpah.

Ingatan berjalan ke masa lampau, saat saya punya lamunan betapa enaknya memiliki mobil dan uang yang cukup. Namun demikian saya jalani hidup dengan motivasi tinggi untuk bekerja keras agar bisa memberi manfaat bagi orang lain, dan saya bisa mampu melakukan semua tanggung jawab dengan baik. Saya lulus dari IPB tahun 1984, dan menjadi pegawai honorer di UPT Komputer sekaligus asisten di Jurusan Statistika dengan honor sebesar 75 ribu rupiah. Ongkos angkutan umum saat itu sekitar 500 rupiah sekali jalan. Dengan tinggal di Laladon dan kantor di Baranangsiang, dibutuhkan uang 5000 rupiah PP. Untuk menghemat, saya jalan kaki dari rumah menuju jalan besar di Sindangbarang, sehingga hanya dibutuhkan 2000 rupiah PP tiap hari. Oleh karena itu, di dalam tas selalu tersedia jas hujan, payung, senter, dan sebotol air minum. Itu semua untuk peralatan jalan kaki melewati pematang sawah di sepanjang Laladon-Sindangbarang untuk mencapai jalan besar agar terhindar dari ongkos tinggi untuk ojek atau becak. Apalagi pulang kerja selalu hari sudah larut malam.

Tahun 1987 saya menikah, dan status kepegawaian masih honorer. Tahun 1989 Inne lahir, dan saat itu bertepatan dengan pengangkatan saya sebagai CPNS. Akibat kebutuhan meningkat, dimulailah kerja keras dengan mengajar dan menjadi konsultan di tempat lain pada malam harinya. Alhamdulillah, pada usia dua tahun Inne, saya membeli mobil bekas, Hijet-1000 warna merah dengan harga 3.5 juta rupiah, dari uang pinjaman ke orang tua, yang akhirnya tidak saya kembalikan. Jadi, dalam waktu 5 tahun lebih, saya jalani bekerja sekuat tenaga mengejar impian tadi. Dan jika saya ukur hingga kondisi sekarang, sudah 24 tahun telah saya lewati. Namun, impian sekarang seperti kehidupan keluarga Satria, jika dibandingkan, ternyata masih jauh. Apalagi kalau dengan ukuran yang sama, saya membandingkan dengan pak Mattjik misalnya, yang sudah jauh lebih lama menjalani kehidupan dan bekerja ini.

Itu mengapa, saya lebih baik berpikir, bagaimana bekerja dengan baik dan keras sesuai tanggungjawab yang diberikan, daripada selalu mencari cara untuk menggapai sesuatu yang belum tentu didapat. Apalagi dengan mengesampingkan nilai-nilai sosial, seperti yang dilakukan oleh Sakti dalam mendapatkan cinta Talita.

Monday, February 11, 2008

NASI AKING

Di kelas kuliah, saya pernah bertanya "Ada yang pernah lihat dan makan nasi aking?". Semua mahasiswa terdiam dan selanjutnya geleng kepala menandakan belum pernah. Umumnya semua pernah mendengar kata "Nasi Aking" dari televisi, melalui acara berita tentang betapa menderitanya rakyat akibat tekanan ekonomi yang makin sulit dan terutama harga beras makin tinggi. Namun demikian, saya bertanya dalam hati, bagaimana hubungannya antara nasi aking dengan penderitaan rakyat. Apalagi nasi aking dimakan tanpa lauk sedikitpun. Apakah mungkin itu akibat ukuran yang digunakan oleh wartawan TV berbeda dengan yang digunakan rakyat? Atukah memang demikian situasi penderitaan itu?

Beberapa minggu lalu saya pulang kampung sambil kebetulan ada acara presentasi tentang sistem informasi di suatu perusahaan di Gresik. Jarak kampung halaman dengan Gresik dapat ditempuh dalam waktu 3 jam berkendara. Di rumah, pada suatu sore di hari Sabtu itu, ibu saya menawarkan sesuatu dalam bahasa Jawa, "Yul, gelem sego karak (mau nasi "karak")?" Dengan gembira saya mengiyakan tawaran itu, karena memang sudah lama saya tidak merasakan "sego karak", yang dulu saat masih kecil, sering dan senang saya memakannya. Setiap malam, setelah semua anggota keluarga makan, selalu ada nasi sisa, dan itu dikeringkan keesokan harinya. Hasilnya dikumpulkan sampai sejumlah tertentu, kemudian dikukus dan selanjutnya diberi parutan kelapa, garam dan gula sedikit. Itulah yang disebut sebagai "sego karak", dan itulah yang selama ini disebut oleh televisi sebagai nasi aking, dan selalu dimakan tanpa tambahan lauk apa pun. Rasanya cukup enak menurut lidah orang Jawa, dan itu hobi banyak rakyat desa di sekitar kampung saya. Itulah mengapa saya selalu bertanya, apakah ada hubungan antara nasi aking dengan kemiskinan.

Memang kadang ukuran yang kita gunakan untuk melihat sesuatu, harus kita ubah agar yang kita rasakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan suara kebanyakan, bukanlah sesuatu yang harus dibenarkan. Justru kita harus merasakan yang orang lain rasakan, agar lidah kita tidak hanya terbiasa dengan segala sesuatu versi kita saja.