Monday, February 11, 2008

NASI AKING

Di kelas kuliah, saya pernah bertanya "Ada yang pernah lihat dan makan nasi aking?". Semua mahasiswa terdiam dan selanjutnya geleng kepala menandakan belum pernah. Umumnya semua pernah mendengar kata "Nasi Aking" dari televisi, melalui acara berita tentang betapa menderitanya rakyat akibat tekanan ekonomi yang makin sulit dan terutama harga beras makin tinggi. Namun demikian, saya bertanya dalam hati, bagaimana hubungannya antara nasi aking dengan penderitaan rakyat. Apalagi nasi aking dimakan tanpa lauk sedikitpun. Apakah mungkin itu akibat ukuran yang digunakan oleh wartawan TV berbeda dengan yang digunakan rakyat? Atukah memang demikian situasi penderitaan itu?

Beberapa minggu lalu saya pulang kampung sambil kebetulan ada acara presentasi tentang sistem informasi di suatu perusahaan di Gresik. Jarak kampung halaman dengan Gresik dapat ditempuh dalam waktu 3 jam berkendara. Di rumah, pada suatu sore di hari Sabtu itu, ibu saya menawarkan sesuatu dalam bahasa Jawa, "Yul, gelem sego karak (mau nasi "karak")?" Dengan gembira saya mengiyakan tawaran itu, karena memang sudah lama saya tidak merasakan "sego karak", yang dulu saat masih kecil, sering dan senang saya memakannya. Setiap malam, setelah semua anggota keluarga makan, selalu ada nasi sisa, dan itu dikeringkan keesokan harinya. Hasilnya dikumpulkan sampai sejumlah tertentu, kemudian dikukus dan selanjutnya diberi parutan kelapa, garam dan gula sedikit. Itulah yang disebut sebagai "sego karak", dan itulah yang selama ini disebut oleh televisi sebagai nasi aking, dan selalu dimakan tanpa tambahan lauk apa pun. Rasanya cukup enak menurut lidah orang Jawa, dan itu hobi banyak rakyat desa di sekitar kampung saya. Itulah mengapa saya selalu bertanya, apakah ada hubungan antara nasi aking dengan kemiskinan.

Memang kadang ukuran yang kita gunakan untuk melihat sesuatu, harus kita ubah agar yang kita rasakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan suara kebanyakan, bukanlah sesuatu yang harus dibenarkan. Justru kita harus merasakan yang orang lain rasakan, agar lidah kita tidak hanya terbiasa dengan segala sesuatu versi kita saja.

No comments: