Thursday, November 29, 2007

MALU

Berdiskusi dan mengorek data dari para pemulung dan pedagang kecil di pasar Jepara pada suatu saat, sungguh membutuhkan kesabaran dan improvisasi. Dengan suasana yang panas dan kadang bau kurang sedap terlintas, namun karena tanggung jawab untuk memperoleh data yang baik, maka seperti kata iklan, itu adalah tantangan. Sama halnya ketika harus naik truk kelapa sawit dilanjut ojek menelusuri jalan berliku dan curam sejauh 40 km, bukan hal yang menghalangi untuk berdiskusi dengan masyarakat transmigran di pelosok Jambi, hanya karena tanggung jawab dan komitmen untuk mendapatkan data dan informasi yang memadai.

Di saat-saat seperti itu, banyak hal ditemui yang sering dapat menjadi cermin bagaimana suatu tanggung jawab dan komitmen dilakukan. Sebutlah bu Prapto, di tengah belantara kebun kelapa sawit, selalu tekun memasak sambil berusaha menambah penghidupan rumah tangganya dengan mengumpulkan sisa-sisa buah kelapa sawit yang tercecer di halaman. Dalam sebulan, uang yang terkumpul tidak sampai pada hitungan juta, namun tanggung jawab dan komitmen sebagai ibu rumah tangga, membuat rumahnya tetap bersih, rapi, dan enak untuk ditinggali. Lain lagi dengan pak Bandi, penjual sate di pasar Jepara, yang setiap hari selalu membeli daging kambing, memotong, menusuk, dan membakar sate, yang semuanya dilakukan sendiri. Yang membuat terhenyak adalah saat saya bertanya, “Bapak punya usaha lain?”. Jawabnya dengan suara berat sambil berdiri dengan sangat sopan, “Saya tidak bisa nyabang-nyabang, nanti urusan sate jadi keteteran”. Pak Bandi menyadari akan tanggung jawabnya sebagai tukang sate walaupun penghasilan di kota kecil seperti Jepara tidak terlalu cukup hanya dari berjualan sate. Di lain peristiwa, Pak Dudung, seorang pegawai di suatu instansi di Jakarta, bersedia menjadi sopir kami sepanjang perjalanan Medan-Mandailing Natal dengan waktu tempuh dua hari. Kami semua dapat mengendarai mobil, tetapi apa pun yang terjadi, pak Dudung tidak bersedia tergantikan, hanya karena mendapat tugas dan tanggung jawab untuk itu.

Semua tanggung jawab itu, jika diukur dengan materi, sangat tidak sebanding, dan tidak sampai pada nilai juta. Namun dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh komitmen. Sama halnya saat mengambil data ke pelosok negeri yang membutuhkan waktu dan tenaga, nilai upahnya pun tak seberapa. Saya kembali melamun, dengan nilai uang dan tanggung jawab yang diberikan, ternyata sering suatu tanggung jawab terkesampingkan. Sebut saja mengajar, mengelola kantor, membimbing mahasiswa, anggota suatu panitia, dan hal lainnya yang sebenarnya menjadi keutamaan, dan ringan saja sebenarnya, ternyata tidak dapat terjalani dengan sebagaimana mestinya. Semoga Bu Prapto, Pak Bandi, atau Pak Dudung tidak mengetahui bagaimana saya yang sebenarnya. Malu akan sangat terasa.

GUYUB

Pada suatu saat di ruang kerja siang hari, saya kedatangan mahasiswa IPB …… “Perkenalkan Pak, saya Menteri Ini Itu mewakili Presiden kami yang tidak bisa datang bla bla bla … “, demikian ucapan sang mahasiswa dengan penuh formal dan sangat kaku. Saya terpukau dan makin terkejut saat rekan satunya duduk sambil menyilangkan kaki di ruang tamu kerja saya. Namun, semua itu saya simpan dalam hati sambil melayani dengan baik apa yang diinginkan oleh sang mahasiswa.

Di waktu yang lain, saya melihat acara di sebuah stasiun TV, dimana seorang mahasiswa Jakarta diberi kesempatan menanggapi suatu persoalan ….. “Hidup Mahasiswa”, demikian teriakan pertama terdengar. Kemudian dilanjutkan dengan nada berapi-api, “…. kalau tidak demikian berarti kami menghianati perjuangan mahasiswa yang telah berhasil menumbangkan rezim Soeharto bla bla bla …”. Mendengar pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan, mungkin dapat dikategorikan B jika diibaratkan dengan jenis soal ujian masa SMA tahun 80an dulu, yaitu dua hal yang benar, tetapi tidak berhubungan. Juga saat debat publik Calon Rektor IPB, pertanyaan mahasiswa pertama kali adalah … “Apakah rektor bersedia mengundurkan diri jika mahasiswa memintanya … bla bla bla ….”. Saya dalam hati, "Aturan dari mana mahasiswa bisa menurunkan Rektor? "

Pada suatu kesempatan lain, saya melihat berita demo mahasiswa di salah satu TV, mahasiswa berteriak, “Saudara Presiden ….”, atau kadang … “Saudara Menteri ….”, bahkan pernah juga .. “Saudara Rektor ….”.

Contoh-contoh tersebut mungkin akibat eforia posisi mahasiswa dalam peta perpolitikan nasional kala itu. Namun akhirnya tidak sedikit masyarakat memandang hanyalah beda tipis antara perilaku pejabat, politikus, dan mahasiswa. Lihatlah acara pemira saat ini, gambar dan spanduk sudah tak ubahnya seperti acara Pilkada pimpinan suatu daerah, baik gubernur, walikota, maupun bupati, bahkan pemilihan kepala desa. Foto calon Presma terpampang dengan anggun, dengan berbagai tulisan dan jargon-jargon … yah … sudah tidak beda dengan yang ada di luar kampus. Dan setelah terpilih pun, suasana sudah dibuat sama persis dengan yang ada di luar kampus. Hal ini bisa jadi, dianggap sebagai pembelajaran mahasiswa dalam mengelola suatu negara. Namun, sikap dan perilaku pejabat dan elit pimpinan, tanpa sadar, juga terbawa ke kampus. Lihat saja bagaimana sikap berhadapan dengan dosen, bagaimana sikap dalam mengungkapkan pendapat, bagaimana mengatur nada suara dalam bertutur, dan sebagainya.

Pertanyaan yang sering muncul, mengapa organisasi mahasiswa tidak kembali guyub. Sekretariat menjadi tempat ngobrol santai seluruh lapisan mahasiswa, bukan melulu rapat-rapat formal. Sekretariat selalu mengedepankan sikap terbuka dan saling toleran, tidak “dikuasai” hanya oleh segelintir golongan tertentu. Semua dapat bercengkerama, saling tertawa, santai dan penuh tawa, dan bersama dengan semua golongan, semua agama, dan semua aliran sesuai dengan tingkat kehidupan mahasiswa yang ceria namun penuh makna. Kegiatan dibuat dengan cakupan semua golongan dan agama mahasiswa, tidak terkungkung hanya dalam satu komunitas saja. Acara seminar, workshop, training, pentas musik, pentas tari, olahraga, bakti sosial, dan banyak acara yang bersifat global yang harus terus digalakkan dan berkesinambungan. Dengan demikian, kehidupan mahasiswa akan lebih semarak, yang berakibat dapat saling mendukung untuk bersama-sama menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu.

Ah, itu hanya lamunan saya yang sudah kurang paham dengan kehidupan mahasiswa saat ini. Baiknya lamunan itu saya kembalikan saja ke lagu tua dari Koes Plus yang sedang saya nikmati ini …….. yang dulu selalu dapat dilakukan mahasiswa sambil duduk di rerumputan menirukan irama yang sedang didendangkan rekan lainnya di salah satu panggung pentas seni di kampus Baranangsiang kala itu.

.....
Andaikan kau datang kembali
Jawaban apa yang kan ku beri
Adakah jalan yang kau temui
Untuk kita kembali lagi

Bersinarlah bulan purnama
Seindah serta tulus cintanya
Bersinarlah terus sampai nanti
Lagu ini kuakhiri

Sunday, June 3, 2007

Maryeti

Kamis subuh di bulan Mei, saya berlima berangkat dengan Batavia menuju Jambi untuk memulai suatu kegiatan penelitian di salah satu lokasi transmigrasi di Jambi, dan satu lagi di Sumatera Barat. Perjalanan hari itu sangatlah melelahkan dan menggunakan berbagai moda transportasi secara lengkap. Turun dari pesawat dilanjutkan dengan mobil Kijang menempuh perjalanan hingga tengah malam menuju kota Tebo. Esok paginya kami lanjutkan perjalanan selama sekitar 4 jam. Karena jalanan tidak memungkinkan dilalui mobil Kijang, kami lanjutkan dengan naik truk yang biasa digunakan mengangkut kelapa sawit. Setelah makan siang yang secara tulus diberikan oleh seorang bernama Bu Prapto di suatu desa terpencil (terima kasih Bu, Anda sangat baik dan tulus, yang sulit ditemui di manapun saat ini), kami naik ojek menempuh perbukitan sepanjang sekitar 40 Km. Pantat terasa sangat pegal.

Setelah melakukan penelitian, perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek sepanjang 15 Km menuju sungai Batanghari untuk menyeberang menggunakan perahu motor tempel, dan kami selanjutnya naik minibus menuju wisma di Kabupaten di Tebo. Esoknya menuju Padang dan menginap satu malam di sana.

Minggu pagi kami menuju lokasi transmigrasi di daerah Pariaman, di pinggir pantai. Sebelum mulai penelitian, kami disuguhi ikan bakar untuk makan siang. Hmmm .. mak nyus rasanya. Setelah selesai semua, sambil menunggu rekan mengurus administrasi ke sekretaris wali nagari, saya menuju sebuah warung kelontong untuk minum teh botol karena udara sangatlah panas. Disinilah sesuatu momen tak terlupakan terjadi.

Saat menikmati teh botol dingin, datang seorang wanita hampir sebaya dengan saya, dibalut sebuah daster agak lusuh, dan kulit yang gelap karena sering tersengat matahari, dan rambut agak tak terurus rapi. Sambil jalan, dia terus menatap ke arahku yang membuat aku agak kikuk. Tiba-tiba, sambil setengah berteriak, " .... Pak Julio yah ... iya iyaaaaa ... pak Julio .. dari IPB ...." sambil tiba-tiba memeluk pundakku. Orang tua dan beberapa rekan di toko itu terperanjat ..... dan ternyata, dia bekas mahasiswa saya .... anggap saja Maryeti namanya ...... yang ternyata dulu sangat sering bersama di tempat kost untuk belajar Matematika dan Statistika. Maka, berceritalah dia sampai saat ini mengapa ada di daerah Pariaman .....

Tak sanggup saya ceritakan di sini .... tetapi ... Oh Maryeti ........ mungkin itu sudah jalanmu. Semoga engkau tabah menjalaninya dan di kemudian hari dapat kau temui kesuksesan dan kedamaian hidup sesuai dengan pendidikan yang telah engkau lalui dulu .......

Thursday, April 19, 2007

Malam Itu

Sudah ada di rencana bahwa malam tadi, pertama mengambil kaca mata yang sudah hampir seminggu dibuat. Juga karena mata ini makin hari makin menyiksa karena sudah tidak dapat berkompromi untuk dipakai membaca atau melihat monitor. Jadi harus aku ambil malam tadi.

Kedua, ada pembicaraan project yang harus aku lakukan jam 7 tepat, dan kesempatan ini harus aku lakukan karena dari sini aku bisa dapat tambahan tabungan yang memang sedang aku butuhkan.

Ketiga, aku juga harus ke dokter untuk menyembuhkan salah satu penyakit lamaku.

Namun, semua bubar dan tak ada yang aku lakukan selain pulang dan tidur tengkurap sambil menahan pedih dan amarah yang luar biasa. Semua itu hanya bermula dari fitnah, dan sifat egoisme seseorang yang liar biasa.

Nonton Nagabonar Jadi 2

Sabtu siang (13/04/07) selepas ngajar, kemana yah langkah kaki akan dibawa. Ke tempat yang biasa dilakukan, sekarang sudah tidak lagi. Iseng2 buka situs 21Cineplex, terbaca judul Film Nagabonar. Wow ... baru ingat kalau ada rasa ingin sekali nonton film itu.

Benar kata orang, itu film paling okey ... tawa dan sedih bergantian. Sering juga terbahak-bahak. Baru kali ini rasanya kutemui lagi film Indonesia yang patut ditonton. Pedihku hilang sudah .... Makasih Dedy Mizwar, Anda sangat briliant.