Friday, December 4, 2009

Teruskanlah

Suatu ketidaksengajaan, hari itu saya berkendara berdua dengan rekan lama yang walaupun bekerja di gedung bersebelahan, namun sangat jarang untuk berbincang. Seperti sudah lama sekali tidak berjumpa, kala itu banyak diisi dengan bicara apa adanya dan apa saja, sampai saat dia bertanya tentang bagaimana kabar di tempat kerja. Saya hanya bicara singkat yang rupanya dianggap bahwa saya tidak ingin bercerita. Maka untuk beberapa saat suasana dalam mobil menjadi sepi, walaupun saya sangat ingin bercerita. Sebagai penggantinya, saya hidupkan tape mobil dan entah kenapa yang terdengar adalah lagunya Agnes Monica ini ...

Pernahkah kau bicara
Tapi tak di dengar
Tak di anggap
sama sekali..

Pernahkan kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak diberi
kesempatan

Belum tuntas lagu itu, tak terasa mobil sudah memasuki areal parkir. Kami berjalan berdua menuju gedung yang selama ini menjadi tempat bekerja, dan berpisah di tangga. Rekan saya berjalan lurus menuju gedung kantornya yang selalu bersahaja dan selalu berasa nyaman di dada. Dan saya menaiki tangga yang cukup membuat dada tersengal. Seperti biasa, setelah mencapai satu lantai, istirahat sejenak sebelum melanjutkan ke lantai berikutnya. Mata memandang ke tempat dimana banyak mahasiswa bergerombol menunggu praktikum, dan suasana kantor utama yang entah mengapa hari itu, untuk kesekian kalinya jadi terlihat berbeda di mata saya. Dan entah mengapa pula, saya melanjutkan langkah menaiki tangga sambil meresapi lanjutan lagu tadi ...

Kuhidup dengan siapa
Ku tak tau kau siapa
Kau kekasihku tapi
orang lain bagiku

Kau dengan dirimu saja
Kau dengan duniamu saja
Teruskan lah.. Teruskan lah
kau begitu

Kau tak butuh diriku
Aku patung bagimu
Cinta buta
kebutuhanmu

Darmaga, 02/12/09

Sunday, November 1, 2009

Pembelajaran Orang Dewasa

Menyambung tulisan terdahulu tentang SCL (Student Center Learning), berikut saya ringkaskan alasan mengapa perlunya SCL diterapkan pada mahasiswa. Masih disampaikan oleh rekan saya dalam suatu acara seminar yang sama, alasannya adalah sederhana, yaitu karena mahasiswa adalah orang dewasa sehingga diperlukan proses pembelajaran yang harus disesuaikan dengan prinsip orang dewasa, yang berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Cara belajar orang dewasa pasti berbeda dengan cara belajar anak-anak atau remaja. Orang dewasa sudah bisa menggunakan akal sehatnya untuk memilih dan berpikir optimal, sedangkan anak-anak belum sampai pada tahap tersebut. Begitu katanya.

Mahasiswa adalah peserta belajar yang sudah dewasa dengan beberapa karakteristik, yaitu mandiri dan mengarahkan diri sendiri, berorientasi pada tujuan, sudah mengumpulkan dasar pengalaman hidup dan pengetahuan, berorientasi pada relevansi, mempunyai kebanggaan, harga diri dan ego yang bisa menimbulkan resiko bila tidak dihormati. Di samping itu peserta belajar dewasa cenderung bersikap praktis, berfokus pada aspek-aspek pelajaran yang paling berguna bagi pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuannya. Dengan demikian diharapkan dosen dapat menyelenggarakan proses pembelajaran di perguruan tinggi secara efektif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Rekan saya menyajikan tiga kemungkinan orientasi belajar mahasiswa, yaitu mencari makna (meaning orientation), reproduksi (reproducing orientation), dan pencapaian (achievement orientation) atau orientasi strategik (strategic orientation). Bila mahasiswa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena ketertarikannya terhadap materi yang dipelajarinya, motif ini merupakan motif akademik. Pada orientasi belajar mencari makna, motif belajar yang mendasarinya adalah motivasi pengembangan diri (aktualisasi diri). Mahasiswa melihat perguruan tinggi sebagai tempat kebenaran diujikan. Dengan demikian mahasiswa memiliki dorongan yang besar untuk mengembangkan minatnya di luar yang terdapat dalam kurikulum.

Pada orientasi belajar reproduksi, mahasiswa melihat perguruan tinggi sebagai sarana untuk mepersiapkan pekerjaan (vokasional). Motivasi belajar mereka bersumber dari luar (motivasi ekstrinsik), yaitu berupa adanya kebutuhan untuk tercapainya suatu kualifikasi tertentu yang dibutuhkan bagi kerja mereka di kemudian hari. Mahasiswa dengan karakteristik orientasi belajar ini cenderung memiliki rasa takut yang besar terhadap kegagalan (fear of failure), dan cenderung membatasi perhatiannya pada apa yang diperkirakan akan keluar pada saat ujian. Dengan demikian, mahasiswa mengembangkan strategi belajar menghafal (rote learning).

Mahasiswa dengan karakteristik orientasi belajar pencapaian melihat perguruan tinggi sebagai tempat berkompetisi. Motif belajar yang dominan pada mereka adalah motif berprestasi (achievement) sehingga mereka memainkan peran sebaikmungkin sebagai mahasiswa. Mahasiswa akan menggunakan strategi penggunaan waktu dan tenaga yang efektif, seperti menyusun jadwal belajar, membuat catatan yang jelas, memenuhi batas waktu untuk penyelesaian tugas, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang terencana dan terorganisir dalam kegiatannya. Nah, mahasiswa di ILKOM ini masuk ke dalam kelompok orientasi yang mana yah?

Rekan saya juga menyajikan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, yaitu pertama, orang dewasa tertarik untuk mempelajari subjek-subjek yang memiliki relevansi langsung dengan kehidupan pribadi, cita-cita, pekerjaan atau karir mereka. Oleh karenanya, relevansi pembelajaran dan materinya harus benar-benar dipertimbangkan. Kedua, pengalaman (termasuk kesalahan-kesalahan) peserta didik memberi dasar bagi aktivitas-aktivitas pembelajaran. Mereka sudah terbekali dengan pengalaman-pengalaman yang memadai, sehingga pengalaman dan kesalahan harus menjadi dasar bagi aktivitas pembelajaran mereka. Ketiga, pembelajaran orang dewasa adalah problem-centered ketimbang content-oriented. Pembelajaran jenis ini dirancang sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang mengarah kepada aktivitas-aktivitas pemecahan masalah (problem-solving activities). Dengan demikian, pembelajaran tidak terpusat pada isi materi tertentu, tetapi mengacu kepada hal-hal praktis dan menghargai pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (prior knowledge).

Waduh, dosen ternyata memiliki tugas yang sangat mulia untuk melaksanakan prinsip pembelajaran orang dewasa. Dan untuk itu, orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik baginya dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis, juga apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup. Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar. Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik. Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar. Jadi, yuk kita bersama-sama menjadi orang dewasa yang memiliki tanggungjawab, dan membawa mahasiswa untuk ikut serta menjadi orang dewasa, dan juga berusaha untuk bersikap sebagai orang dewasa. Usia tua belum tentu bisa dewasa, dan usia muda juga tidak menghalangi untuk menjadi orang dengan sikap lebih dewasa, bahkan mungkin orang muda dapat lebih dewasa dibanding orang usia tua.

Wednesday, October 28, 2009

Pembelajaran Kontekstual

Di suatu acara seminar pembelajaran multimedia di suatu perguruan tinggi, saya berkesempatan menyimak paparan rekan sesama pemakalah. Beliau menyajikan dua judul presentasi, salah satunya yang akan saya bagi cerita di sini adalah pembelajaran kontekstual yang lebih dikenal dengan istilah Student Center Learning (SCL). Mungkin soal ini sudah banyak dikupas di pelatihan pekerti, yang sampai kini pun belum pernah saya ikuti.

Rekan tadi menyajikan dengan sangat menarik, diawali dengan kutipan dari Benjamin Franklin yang sarat makna, yaitu: "Tell me and I forget. Teach me and I may remember. Involve me and I will learn". Dari sini saya merenung, apakah selama ini saya di kelas hanya bercerita yang membuat mahasiswa melupakannya, hanya mengajar yang membuat mahasiswa menghafal, atau lebih membuat mahasiswa untuk belajar sehingga lebih berkembang? Ternyata saya merasakan bahwa banyak hal yang harus saya lakukan untuk menjadi dosen yang baik. Apalagi jika dihubungkan dengan penilaian yang biasa dilakukan, apakah hanya menilai kemampuan minimal penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai sasaran kurikulum; ataukah menilai kompetensi seseorang untuk dapat melakukan tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu? Sangat berat ternyata untuk melakukan itu semua.

Ternyata selama ini saya masih pada tahap traditional teaching, yang hasilnya membuat mahasiswa D3C (duduk, dengar, diam, catat), memiliki kemampuan konseptualisasi yang terbatas, tahu/hafal materi pelajaran, tetapi tidak tahu aplikasinya di dunia nyata, apatis, dan tidak dapat "think outside the box". Nah, dalam SCL, demikian rekan saya tadi memberi tekanan, sudahkan kita melakukan proses pembelajaran bercirikan hal-hal berikut: (1) Fokus pada proses; (2) Penekanan pada mengetahui "bagaimana"; (3) Dosen berperan sebagai fasilitator, narasumber, dan mitra; (4) Siswa bekerja dalam kelompok/tim, secara kolektif dan kolaboratif; (5) Siswa bekerja secara independen; (6) Siswa aktif membangun dan mensintesa pengetahuan dari banyak sumber; (7) Kegiatan belajar fleksibel dan tak selalu di dalam kelas; dan (8) Penilaian dengan berbagai cara. Oleh karena itu, dalam SCL, metode yang harus dilakukan adalah: (1) Pembelajaran dengan berbagi pengalaman (information sharing); (2) Pembelajaran dengan pengalaman (experience based, experiential learning); dan (3) Pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem-solving based).

Memang, tidak semua matakuliah dapat 100% dilakukan pembelajaran seperti itu, namun minimal menjadi tugas saya sebagai dosen untuk membuat pembelajaran lebih berpusat pada mahasiswa, bukan pada dosen. Sulit sekali ternyata, dan saya makin lebih banyak merenung lagi mendengar paparan terakhir rekan saya tersebut, yang berusaha menyimpulkan dalam satu kalimat: "Kampus tempat mahasiswa belajar, BUKAN tempat dosen mengajar".

Monday, October 26, 2009

Three in One

Sudah menjadi keinginan di setiap masa ujian mahasiswa, saya selalu berusaha untuk mengantar anak ke kampus dengan tujuan agar dia dapat tenang menuju tempat ujian, tanpa dibebani oleh kemacetan dan suasana jalan yang kurang nyaman. Karena saya berasumsi bahwa suasana batin dan pikiran akan mendorong otak bekerja lebih positif, terutama dalam menjawab soal-soal di ujian.

Senin itu, sambil akan mempersiapkan ujian matakuliah yang saya asuh, saya berangkat bersama anak dan dua temannya menuju kampus. Di jalan, bertiga mereka serius belajar, terutama dua mahasiswa di belakang. Melihat itu, saya membuka pembicaraan, "Udah, jangan tegang, santai saja". Langsung ditukas oleh mereka, "Ini bukan tegang untuk hari ini Om, tapi besok". "Kenapa?", saya bertanya agak keheranan. Ternyata, "Besok saya kena three in one. Masak ujian sampai tiga matakuliah". Saya melongo mendengar jawaban itu, dan merasa kasihan juga. Untungnya mereka mahasiswa yang tabah dan menerima segala resiko apa pun yang dilakukan oleh IPB ini terhadap mahasiswanya, walaupun terbayang bagaimana kebingungan mempersiapkan belajar menghadapi ujian Metode Kuantitatif pukul 08:00-10:00, Pemrograman Tak Linier pukul 10.30-12.30, dan Sistem Operasi pukul 13:30-15:30 dalam satu hari.

Setiba di kampus langsung mempersiapkan ujian matakuliah yang diikuti ratusan mahasiswa di Grawida. Lembar soal langsung dibagi walaupun jam masih menunjuk pukul 13:00, sedangkan ujian pukul 13:30. Tepat pukul 13:20, mahasiswa dipersilakan masuk dan menempati kursi yang ada berkas ujian di atasnya. Seperti syair dalam lagu jaman mahasiswa dulu, "malapetaka pun melanda ...", M-N=120, dimana M adalah jumlah mahasiswa, dan N adalah jumlah berkas, alias berkas kurang ratusan eksemplar. Ya sudah lah, itu mungkin karena salah perhitungan, tetapi telah membuat kurang nyaman pada diri mahasiswa dan semua pihak. Akhirnya ujian diundur 30 menit untuk beberapa mahasiswa.

Malapetaka kedua muncul, beberapa mahasiswa tidak dapat ujian akibat pengunduran waktu, karena ada ujian di jam berikutnya. Selesai persoalan itu diatasi oleh rekan dosen lainnya, muncul malapetaka ketiga, ruang Grawida akan dipakai ujian matakuliah lain pada jam berikutnya, sehingga akan terganggu akibat pengunduran waktu 30 menit tersebut. Akhirnya, ujian yang seharusnya 2.5 jam, dipersingkat menjadi 2.0 jam.

Entah mengapa, three in one tidak hanya ada di Jakarta, tetapi ada juga di masa ujian ini. Tiga matakuliah dan juga tiga malapetaka menjadi satu. Setelah memohon ampun pada Allah dan berwudlu, saya teriak sekencang-kencangnya di mobil dalam perjalanan menuju Bogor, sambil tak terasa menetes air mata. Cengeng memang, tetapi beban itu terasa sangat berat untuk saya lalui. Di 15 menit setelah itu, saya mencoba membuang semua pikiran itu dengan memutar lagu di CD bajakan saya, terdengar lagunya D'Masiv yang kebetulan saya hafal reff-nya sehingga membuat saya ikut bersenandung keras-keras ...

Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku
...
...