Friday, February 15, 2008

SINETRON

Saya ini termasuk orang yang tidak menyukai tayangan sinetron, yang banyak menjual mimpi dan mempermainkan daya pikir dan nalar orang ke hal-hal yang tidak realistis. Beda dengan ibu saya, yang punya tayangan sinetron favorit pada jam-jam tertentu. Selama sebulan lebih, saya sering menemani ibu sambil bermanja-manja di depan televisi. Itu makanya saya jadi tahu bagaimana liku-liku cinta antara Cahaya, Raka, Talita dan Satria. Dan tahu bagaimana mobil mewah yang digunakan oleh bu Pertiwi, dan juga keluarga seorang pejabat, ayahnya Satria. Disinilah kadang lamunan menerawang, betapa enaknya memiliki itu semua. Paras yang rupawan, mobil dan rumah mewah, serta harta yang melimpah.

Ingatan berjalan ke masa lampau, saat saya punya lamunan betapa enaknya memiliki mobil dan uang yang cukup. Namun demikian saya jalani hidup dengan motivasi tinggi untuk bekerja keras agar bisa memberi manfaat bagi orang lain, dan saya bisa mampu melakukan semua tanggung jawab dengan baik. Saya lulus dari IPB tahun 1984, dan menjadi pegawai honorer di UPT Komputer sekaligus asisten di Jurusan Statistika dengan honor sebesar 75 ribu rupiah. Ongkos angkutan umum saat itu sekitar 500 rupiah sekali jalan. Dengan tinggal di Laladon dan kantor di Baranangsiang, dibutuhkan uang 5000 rupiah PP. Untuk menghemat, saya jalan kaki dari rumah menuju jalan besar di Sindangbarang, sehingga hanya dibutuhkan 2000 rupiah PP tiap hari. Oleh karena itu, di dalam tas selalu tersedia jas hujan, payung, senter, dan sebotol air minum. Itu semua untuk peralatan jalan kaki melewati pematang sawah di sepanjang Laladon-Sindangbarang untuk mencapai jalan besar agar terhindar dari ongkos tinggi untuk ojek atau becak. Apalagi pulang kerja selalu hari sudah larut malam.

Tahun 1987 saya menikah, dan status kepegawaian masih honorer. Tahun 1989 Inne lahir, dan saat itu bertepatan dengan pengangkatan saya sebagai CPNS. Akibat kebutuhan meningkat, dimulailah kerja keras dengan mengajar dan menjadi konsultan di tempat lain pada malam harinya. Alhamdulillah, pada usia dua tahun Inne, saya membeli mobil bekas, Hijet-1000 warna merah dengan harga 3.5 juta rupiah, dari uang pinjaman ke orang tua, yang akhirnya tidak saya kembalikan. Jadi, dalam waktu 5 tahun lebih, saya jalani bekerja sekuat tenaga mengejar impian tadi. Dan jika saya ukur hingga kondisi sekarang, sudah 24 tahun telah saya lewati. Namun, impian sekarang seperti kehidupan keluarga Satria, jika dibandingkan, ternyata masih jauh. Apalagi kalau dengan ukuran yang sama, saya membandingkan dengan pak Mattjik misalnya, yang sudah jauh lebih lama menjalani kehidupan dan bekerja ini.

Itu mengapa, saya lebih baik berpikir, bagaimana bekerja dengan baik dan keras sesuai tanggungjawab yang diberikan, daripada selalu mencari cara untuk menggapai sesuatu yang belum tentu didapat. Apalagi dengan mengesampingkan nilai-nilai sosial, seperti yang dilakukan oleh Sakti dalam mendapatkan cinta Talita.

1 comment:

lassadad said...

hihihiih
seorang kawan saya pernah bilang begini ke saya Pak
"dapet orang tua miskin bukanlah salah kita, tapi kalo kita dapet mertua miskin, maka itu adalah kesalahan kita"