Thursday, November 29, 2007

GUYUB

Pada suatu saat di ruang kerja siang hari, saya kedatangan mahasiswa IPB …… “Perkenalkan Pak, saya Menteri Ini Itu mewakili Presiden kami yang tidak bisa datang bla bla bla … “, demikian ucapan sang mahasiswa dengan penuh formal dan sangat kaku. Saya terpukau dan makin terkejut saat rekan satunya duduk sambil menyilangkan kaki di ruang tamu kerja saya. Namun, semua itu saya simpan dalam hati sambil melayani dengan baik apa yang diinginkan oleh sang mahasiswa.

Di waktu yang lain, saya melihat acara di sebuah stasiun TV, dimana seorang mahasiswa Jakarta diberi kesempatan menanggapi suatu persoalan ….. “Hidup Mahasiswa”, demikian teriakan pertama terdengar. Kemudian dilanjutkan dengan nada berapi-api, “…. kalau tidak demikian berarti kami menghianati perjuangan mahasiswa yang telah berhasil menumbangkan rezim Soeharto bla bla bla …”. Mendengar pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan, mungkin dapat dikategorikan B jika diibaratkan dengan jenis soal ujian masa SMA tahun 80an dulu, yaitu dua hal yang benar, tetapi tidak berhubungan. Juga saat debat publik Calon Rektor IPB, pertanyaan mahasiswa pertama kali adalah … “Apakah rektor bersedia mengundurkan diri jika mahasiswa memintanya … bla bla bla ….”. Saya dalam hati, "Aturan dari mana mahasiswa bisa menurunkan Rektor? "

Pada suatu kesempatan lain, saya melihat berita demo mahasiswa di salah satu TV, mahasiswa berteriak, “Saudara Presiden ….”, atau kadang … “Saudara Menteri ….”, bahkan pernah juga .. “Saudara Rektor ….”.

Contoh-contoh tersebut mungkin akibat eforia posisi mahasiswa dalam peta perpolitikan nasional kala itu. Namun akhirnya tidak sedikit masyarakat memandang hanyalah beda tipis antara perilaku pejabat, politikus, dan mahasiswa. Lihatlah acara pemira saat ini, gambar dan spanduk sudah tak ubahnya seperti acara Pilkada pimpinan suatu daerah, baik gubernur, walikota, maupun bupati, bahkan pemilihan kepala desa. Foto calon Presma terpampang dengan anggun, dengan berbagai tulisan dan jargon-jargon … yah … sudah tidak beda dengan yang ada di luar kampus. Dan setelah terpilih pun, suasana sudah dibuat sama persis dengan yang ada di luar kampus. Hal ini bisa jadi, dianggap sebagai pembelajaran mahasiswa dalam mengelola suatu negara. Namun, sikap dan perilaku pejabat dan elit pimpinan, tanpa sadar, juga terbawa ke kampus. Lihat saja bagaimana sikap berhadapan dengan dosen, bagaimana sikap dalam mengungkapkan pendapat, bagaimana mengatur nada suara dalam bertutur, dan sebagainya.

Pertanyaan yang sering muncul, mengapa organisasi mahasiswa tidak kembali guyub. Sekretariat menjadi tempat ngobrol santai seluruh lapisan mahasiswa, bukan melulu rapat-rapat formal. Sekretariat selalu mengedepankan sikap terbuka dan saling toleran, tidak “dikuasai” hanya oleh segelintir golongan tertentu. Semua dapat bercengkerama, saling tertawa, santai dan penuh tawa, dan bersama dengan semua golongan, semua agama, dan semua aliran sesuai dengan tingkat kehidupan mahasiswa yang ceria namun penuh makna. Kegiatan dibuat dengan cakupan semua golongan dan agama mahasiswa, tidak terkungkung hanya dalam satu komunitas saja. Acara seminar, workshop, training, pentas musik, pentas tari, olahraga, bakti sosial, dan banyak acara yang bersifat global yang harus terus digalakkan dan berkesinambungan. Dengan demikian, kehidupan mahasiswa akan lebih semarak, yang berakibat dapat saling mendukung untuk bersama-sama menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu.

Ah, itu hanya lamunan saya yang sudah kurang paham dengan kehidupan mahasiswa saat ini. Baiknya lamunan itu saya kembalikan saja ke lagu tua dari Koes Plus yang sedang saya nikmati ini …….. yang dulu selalu dapat dilakukan mahasiswa sambil duduk di rerumputan menirukan irama yang sedang didendangkan rekan lainnya di salah satu panggung pentas seni di kampus Baranangsiang kala itu.

.....
Andaikan kau datang kembali
Jawaban apa yang kan ku beri
Adakah jalan yang kau temui
Untuk kita kembali lagi

Bersinarlah bulan purnama
Seindah serta tulus cintanya
Bersinarlah terus sampai nanti
Lagu ini kuakhiri

3 comments:

Antobilang said...

Hahahaha. Khas sekali, persis yang terjadi di tempat saya.
Bahkan seorang mahasiswa non-muslim pernah dihardik oleh 'penghuni' ruangan BEM dan diperlalukan sinis hanya karena tak mencucapkan 'salam-assalamualaikum' saat masuk ke ruang BEM.
Cuih. Itu terjadi. Dan selalu berulang.

http://antobilang.wordpress.com/

Evan said...

Emang gampang2 susah ya pak ngadepin mahasiswa. Moga aja pas evan kuliah jadi lebih bijak.
salam kenal

SEKJEN PENA 98 said...

Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!

Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com